Kewarganegaraan : Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme dalam Sudut Pandang Mahasiswa


TUGAS STUDIUM GENERALE
MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN

Buatlah laporan pendek (kurang lebih 700 kata) mengenai peran mahasiswa dalam pencegahan ajaran radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
ESAI
Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme dalam Sudut Pandang Mahasiswa

Radikalisme apabila ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang berarti akar (pohon). Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Radikal dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam. Radikalisme kemudian diartikan pandangan/cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram (Yunus, 2017). Bahaya radikalisme bagi kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa tentu saja dapat mengacaukan keseimbangan tatanan yang ada didalamnya. Masyarakat menjadi terpecah belah, adanya intoleransi, munculnya terorisme, dan dapat berujung pada pecahnya persatuan bangsa.
Konsep radikal sesungguhnya apabila dikaitkan dengan pengertian sekarang menjadi negatif karena beberapa orang yang menanamkan paham yang kuat tersebut mendalami ideologi yang salah. Pak Yusuf dalam paparannya, mengatakan bahwa paham radikalisme dimulai dari membuat perkumpulan kecil. Pada perkumpulan tersebut, kita tidak secara gamblang diberi doktrin mengenai paham-paham tertentu, tetapi dimulai dari pendekatan yang lambat laun dapat mengubah pola pikir kita (brainwashing). Kelompok radikal juga cenderung membidik ‘target’ mahasiswa yang jarang bergaul sehingga mudah untuk diberi pemahaman baru.
Dampak dari tindakan intoleran, radikalisme, dan terorisme terhadap kehidupan sosial berbangsa dimulai dari pergeseran atau perubahan ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila (falsafah banga Indonesia), akibatnya dalam mencapai suatu tujuan tertentu dari paham baru tersebut, pelaku teror tidak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkannya.  Secara etimologi terorisme berasal dari kata “to terror”. Semntara dalam bahasa latin disebut Terrere yang berarti “gemetar” atau menggetarkan. Definisi teroris dapat diartikan sebagai seseorang yang berusaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman pada masyarakat atau golongan tertentu (Ali, 2010)
Subhan (2016) memaparkan bahwa terdapat aksi terorisme pada 11 September 2001 yang menelan hingga 3000 korban jiwa di Amerika Serikat dan bom Bali di Indonesia pada 12 Oktober 2002 yang telah mengubah pandangan masyarakat terhadap terorisme. Terorisme identik dengan agama khususnya Islam. Tidak lain karena teror-teror tersebut diklaim dilakukan oleh kelompok Islam Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah. Selain bom Bali, pada periode tahun 2000 hingga 2009 juga terjadi rangkaian aksi terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh kelompok Islam. Namun, memasuki tahun 2010 hingga 2015, terjadi aksi-aksi teror yang berbeda dari periode sebelumnya, baik dari segi sasaran maupun pelaku-pelaku yang terlibat.
Solihin (2017) dalam penelitiannya mengungkapkan, bahwa ada beberapa interpretasi mengenai sumber tujuan atau goals dari terorosme, yaitu charismatic clergy/ autoritarian interpretation (interpretasi atau memunculkan doktrin baru mengenai keagamaan), goals (pemurnian agama dan membangun sistem pemerintahan dan ekonomi yang baru), dan attacking target (melakukan pembajakan, bom bunuh diri, dan menyebarkan virus). Tujuan terorisme datang dari kepercayaan atau ideologi yang bersarang di pikiran mereka.
Ibu Chusnul Chotimah yang merupakan narasumber pengisi acara Studium General sebagai salah satu saksi mata tragedi bom bali menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada dampak positif dari terorisme. Bangunan yang hancur, korban jiwa yang berjatuhan, seseorang yang kehilangan keluarganya, dan trauma mendalam bagi korban yang selamat. Beliau berpesan dalam narasinya, bahwa jangan sampai ada lagi kejadian pahit yang harus dialami orang lain hanya akibat segolongan tertentu ingin mencapai tujuannya. Seseorang yang bertindak keji sampai seperti itu, tidak pantas mengatakan jihad dalam tindakannya apalagi mengaitkan agama didalamnya. Sekali lagi, itu adalah pandangan yang salah terkait interpretasi suatu pemahaman.
Pandangan intoleran dan paham serta jaringan radikalisme dapat muncul di Indonesia akibat meluasnya teknologi yang saat ini berkembang di masyarakat. Mahasiswa tentu dapat terjebak dalam lubang hitam paham radikalisme apabila berada di lingkungan yang salah dan enggan bersikap lebih terbuka (open minded). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang tertarik pada pandangan dan jaringan radikalisme biasanya karena adanya legitimasi teks keagamaan, merasakan adanya penghargaan di suatu kelompok kecil tersebut, ajakan, faktor ekonomi yang lemah, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai fundamental, dan tujuan-tujuan ‘mulia’ yang ditekankan ingin dicapai bersama.
Dalam menangkal paham radikalisme, intoleransi, dan terorisme, kita tentu perlu menumbuhkan sikap-sikap dan karakter agar tidak terpengaruh oleh ajaran intoleransi dan radikalisme. Santrock (2006) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional degerakan oleh emosi (EQ).
Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil meraih prestasi dan kesuksesan, acapkali orang tersebut disergap oleh perasaan “kosong” dan hampa dalam celah batin kehidupanya. Setelah prestasi puncak telah dipijak, ketika semua pemuasan kebedaan telah diraihnya, setelah uang hasil jeri payah berada dalam genggaman, ia tak tahu lagi ke mana harus melangkah. Di sinilah kecerdasan spiritual atau yang biasa disebut SQ muncul untuk melengkapi IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Spiritual Quotient (SQ) merupakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Pak Ary Ginanjar dalam khutbahnya mengatakan, bahwa tingkatan IQ, EQ, dan SQ dapat tercapai apabila kita memiliki “Grand Why?” atau apa alasan saya hidup? apa tujuan dari hidup saya? Pada Al-Qur’an surat Adz-Zariyat (56) Allah dalam firman-Nya menjelaskan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” Saya sebagai seseorang yang beragama Islam tentu memiliki “Grand Why” yaitu untuk beribadah kepada Tuhan. Bentuk ibadah yang dijelaskan pada ayat ini bersifat umum dan memiliki tingkatan setiap tahapan kehidupan manusia. Misalnya, ibadah secara umum sebagai manusia yaitu sholat, zakat, puasa, sedekah, dan berbakti kepada orang tua. Pada masa anak-anak kita ditugaskan untuk belajar atau menuntut ilmu, sebagai mahasiswa kita dapat berperan atau berkontribusi dalam menjaga persatuan bangsa dengan menghindari segala bentuk radikalisme dan intoleransi, berperan aktif dalam akademik, melakukan pengabdian kepada masyarakat, dan sampai sebagai masyarakat kita harus melaksanakan segala aturan untuk membentuk lingkungan yang tentram, apabila mendapat amanah sebagai pemimpin dapat menjalankan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., 2010, Teologi Pluralis-Multikultural, Kompas, Jakarta.
Santrock, J.W., 2006, Life Span Development, 10th ed., McGraw-Hill Co, Inc., Boston
Solihin, N., 2017, Understanding The Radicalism Movement In Indonesia: A Conflict Approach To The Rise Of Terrorism, Academic Journal of Islamic Studies, 2(1), 25-50.
Subhan, M., 2016, Pergeseran Orientasi Gerakan Terorisme Islam di Indonesia (Studi Terorisme Tahun 2000-2015), Journal of International Relations, 2(4), 59-67.
Yunus, A. F., 2017, Radikalisme, Liberalisme dan Terorisme : Pengaruhnya Terhadap Agama Islam, Jurnal Studi Al-Qur’an, 13(1), 76-90.

Komentar