[TENTANG"KU" SI ANAK TUNGGAL, BUNGSU, TENGAH, DAN SULUNG]

[TENTANG"KU" SI ANAK TUNGGAL, BUNGSU, TENGAH, DAN SULUNG]

Membicarakan posisi 'hirearki' seorang anak memang bisa membuka jendela-jendela baru buat aku sendiri sebagai anak Bungsu. Rasanya tidak pas, jika menceritakan mengenai posisi lain dimana aku sendiri juga tidak tahu rasanya. Untuk itu, aku mengumpulkan suara dari berbagai isi kepala untuk dapat menuliskan cerita ini. Aku harap, segala tendensi atau bias mengenai anggapan bahwa anak Tunggal yang kesepian, anak Bungsu yang selalu dimanja, anak Tengah yang selalu terabaikan, dan anak Sulung yang harus memiliki pundak kokoh dan mempunyai beban berat karena harus menjadi teladan; tidak dirangkum dalam kesimpulan yang sempit seperti demikian. 

Aku juga berterimakasih kepada seluruh teman yang telah membagikan ceritanya dan sudut pandangnya, amat sederhana, tapi aku benar-benar berterimakasih!

1. si Tunggal
Ketika aku membagikan pertanyaan terbuka melalui instagram, salah satu teman ada yang menjawab, "Jadi anak tunggal itu enak bet wkwk. The whole of my house is mine. Gaperlu repot-repot bagi² ini itu. Ga dibanding²in sama adek kakak. Papa mama sayangnya ke aku doang" well, rupanya berbeda dengan pikirku jika anak Tunggal itu kesepian. Kemudian aku menanyakan bagaimana perasaan temanku yang lain yang selama ini juga menjadi anak Tunggal. Dia menceritakan panjang lebar padaku. Bahwa ya mungkin ada sedikit rasa iri dengan orang lain yang memiliki saudara, yang apa-apa bisa saling sharing atau bagi tugas gitu, menjadi si Tunggal menurutnya harus bisa mandiri, apa-apa sendiri, jadi 'satu²-nya' harapan, jadi satu²nya yang bisa diandalkan orang tua. Dia pun mengungkapkan kira-kira seperti ini, "Suka sebel sama pertanyaan orang lain, (yang sebenernya kita nggak terlalu kenal akrab) tapi suka kepo kayak, 'eh kmu anak tunggal ya? enak yaa dimanja"
' atau 'eh kamu kalo di rumah gitu ngga sepi gitu ta? nggak ada kakak atau adek yg diajak berantem' pernah juga temenku tanya, 'berarti ibumu di rumah gitu sendirian ya? nggaa kesepian gitu kah? kan kamu kuliahnya ngekos, pulang seminggu sekali, di sisi lain ayahmu kerjaa'" Deg. Saat itu aku lega belum sempat menanyakan pertanyaan² yang ternyata mampu membuat perasaan anak Tunggal sedikit terusik, semacam menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.. "Aku jawabnya sambil males, inginku jawab :  'BERISIK LU JELEK'" :) Aku yang saat itu ingin menghayati perasaan dengan sedikit terenyuh seketika jadi hilang mood, wkwk. Aku tau dia orang yang ceria, tapi ini lagi serius²nya:"). Dia pun mengungkapkan bahwa kehadiran sepupu-sepupu (yang memiliki 'nasib' yang sama) turut membuatnya merasakan memiliki 'saudara', sedikit banyak saling menguatkan seraya mendoktrin bahwa 'kamu tuh enggak sendiri'. Dia juga berpesan, sebagai anak Tunggal, kita perlu besyukur bahwa setiap keadaan harus disyukuri karena kita memang tidak pernah bisa memilih. Sebagai anak Tunggal memang harus 'lebih' kuat karena sendiri, jangan pernah sekali² mengecewakan (nurut), dan bisa membuat orang tua bangga karena kita adalah satu²nya harapan. Namun jangan menganggapnya sebagai beban, tapi anggap sebuah proses. Kita tidak memiliki privilise 'belajar dari kesalahan kakak', maka harus lebih berhati-hati dalam setiap tindakan, karena tidak ada kesempatan kedua. 

2. si Bungsu
Aku sendiri sebagai si Bungsu merasa mendapatkan lebih banyak kemudahan². Misalnya saja; jika dahulu Kakak harus menggunakan angkutan umum untuk pergi ke sekolah, aku di-antar-jemput oleh Kakak dan selanjutnya dibelikan motor sendiri. Kemudian, uang jajanku ketika kuliah 2x lipat dari uang jajan Kakak ketika kuliah. Dimanja? Hmm, kurang lebih aku sendiri yang bersifat 'kekanakan' karena merasa selamanya akan menjadi adik:) jadi selalu merasa menjadi yang 'terkecil' wkwk. Dan Mamaku bukan tipe orang tua yang berat sebelah untuk anak 'ragil', beliau benar-benar menyayangi kami dengan porsi yang sama. Ketika ada 'baku hantam' pun, tidak serta-merta Kakak yang dimarahi dan langsung disalahkan, tapi ditelusuri terlebih dahulu 'siapa yang salah'. Jika memang aku yang salah, tentu akan tidaj adil jika Kakak yang mendapat amarah. Saking adilnya, aku pernah menanyakan, "Mam, kalo Adek sama Kakak tenggelem di laut dan cuma ada 1 pelampung, Mama bakal nyelametin siapa?" Sambil harap-harap cemas Mama akan memilihku, wkwk. "Gak tak tulungi loro karone (Nggak Mama tolong dua-duanya)" :) Hmm, fairly enough. "Mam, kalo Adek sama Kakak sakit bersamaan, Kakak di Jakarta, aku di Bandung, Mama memilih menjenguk siapa?" "Gak njenguh kabeh" :) Baik, aku menyerah wkwk. Tapi kesenangan dari si Bungsu yang utama adalah dia memiliki sosok role model, Kakak sebagai contoh teladan atau jika Kakak salah maka akan menjadi pelajaran. Sedihnya, si Bungsu tidak akan pernah menjadi teladan siapapun yang bisa dibanggakan 'Adik'nya. Juga sering terlena akan kemudahan² sehingga lebih lambat untuk berkembang. Karena terlebih dahulu ada pemikiran "oh, sudah ada Kakak, jadi aku nggak usah". Bagaikan pisau bermata dua juga, si Bungsu jarang dilibatkan akan permasalahan rumah tangga karena selalu dianggap 'masih kecil'. Sisi baiknya memang si Bungsu menjadi tidak memiliki beban pikiran, tapi di sisi lain, kadang merasa 'tidak diperlukan'. Jika orangtuanya mendidik dengan salah pun, si Bungsu akan benar-benar menjadi pribadi yang egois, ingin menang sendiri, susah diatur, dan selalu bergantung. Belum lagi ketika seluruh Kakak-nya berhasil memperoleh segudang prestasi, namun ia tidak menempuh jalan yang sama; maka ia akan dicap sebagai 'produk yang gagal'. Rupanya tak selamanya menjadi bungsu itu enak:). Namun, jika boleh berpesan untuk 'sesama Bungsu' (wkwk) "jangan sampai mengulangi kesalahan yang pernah Kakak lakukan dan keberhasilanmu tidak melulu harus sama dengan pencapaian Kakak. Ayo! Kamu juga harus berperan membanggakan kedua orang tuamu:) semangat!" 

3. si Tengah
Jika membahas si Tengah, aku teringat film Diary of a Wimpy Kid dimana Greg sebagai tokoh utama adalah anak Tengah. Terabaikan. Mungkin itu 1 kata yang bisa menggambarkan keadaan Greg di film tersebut. Jika berhadapan dengan Rodrick dia selalu dipandang rendah dan kemudian dibully oleh Kakak-nya. Jika berhadapan dengan Manny dia tidak memiliki wibawa bahkan kerap kali dikerjai oleh Adik-nya. Orang tua Greg-pun, jarang menganggapnya ada, karena mereka hanya berfokus pada kenakalan Rodrick dan Manny yang masih balita. Salah satu teman juga berpendapat, bahwa adiknya (yang merupakan anak Tengah) tumbuh menjadi pribadi yang pendiam atau cuek meskipun di dalam hati-nya sebenarnya dia peduli. Teman lain sebagai anak ke-2 dari 3 bersaudara, "Anak tengah itu cenderung serba salah karena ia selalu dibandingkan dengan Kakak dan Adiknya. Kadang merasa tertekan ketika Kakak sudah bisa dijadikan panutan dan harus bersikap dewasa karena kamu memiliki Adik yang harus kamu bimbing" "Apalagi kalau adik terpaut umur yang jauh, selisih 8 tahun misalnya, pasti ketika berantem, aku yang selalu disalahkan, wkwk". Anak Tengah menjadi posisi yang dilematis menurutku sendiri karena harus bisa meneladani Kakak sekaligus memberi contoh kepada Adik. Mama dan Om pun, sesama anak Tengah, semisal terkadang terabaikan oleh Eyang justru saling merekatkan hubungan karena merasa 'senasib-sepenanggungan'. Ingat betul ketika Mama menceritakan momen sederhana dimana Om membutuhkan kacamata, namun Eyang tidak ada uang kala itu, menggerakkan hati Mama untuk dapat membelikan kacamata untuk Adiknya dengan memyisihkan sebagian uangnya, benar-benar menjadi momen berharga sebagai puncak kekaguman antara Adik pada Kakaknya. Dengan jarak tahun yang dekat, membuat Mama dan Om juga semakin erat; persatuan anak Tengah! Akan selalu ada hikmah. Tapi menurutku pribadi, aku yakin jauh di lubuk hati paling dalam, setiap orangtua menyayangi anaknya 'sama' tidak memandang dia si Bungsu, Tengah, atau Sulung. 

4. si Sulung
Inilah bagian favoritku, aku letakkan paling terakhir:). Mari sejenak kita mengapresiasi kepada seluruh anak Sulung! Kakakku langsung mengIYAkan mengenai Kakak yang identik dengan beban beratnya yang dipikul, wkwkwk. Salah satu teman di instagram pun turut menyetujui bahwa, "Anak Sulung itu benar-benar berat, kamu harus tanggung jawab, kerja keras, dan selalu perfect (sempurna) sesuai dengan keinginan orang tua". Hmm, menarik:) Rupanya beban-beban untuk menjadi 'sempurna' masih melekat di pemikiran si Sulung. Tapi kisah yang aku bagikan setelah ini, sungguh membuatku benar-benar kagum akan sosoknya sebagai 'si Sulung'. Dia adalah teman seangkatanku di kampus. Mari, membaca pelan-pelan:) "Aku anak pertama. Beban berat? Ndak juga sih, malah merasa beruntung bisa melewati beberapa fase. Dari ngerasain hidup susah sampai alhamdulillah sudah berkecukupan. Kadang merasa, 'kok enak ya adek apa² sudah tersedia, sekolah antar jemput, butuh ini itu jika minta sekarang, besok sudah ada'. Tapi dibalik itu semua, aku bersyukur. Dulu aku sering ditinggal luar kota, sekarang jadi lebih bisa menghargai kebersamaan. Dulu jika ingin membeli sesuatu harus nabung dulu lama sampai harus enggak jajan, sekarang alhamdulillah jadi ahli mengatur keuangan, sampe sekarang hampir nggak pernah minta uang ke orang tua kalau ndak dikasih duluan. Dulu sekolah jalan kaki + naik angkot + berangkat jam 5.30, jadi sekarang terbiasa di perantauan harus bisa disiplin waktu. Dulu belum punya rumah, masih serumah sama simbah dan yang lain, hikmahnya jadi terasah jiwa berbagi sesama sodara. Dari TK udah apa² sendiri karena punya Adik, hikmahnya jadi lebih mandiri. Dulu, kalau ayah kerja dan karena Adik masih kecil dan nggak tega kalo Ibuk yang ngelakuin, jadi kebiasa ngangkat galon atau manjat pohon buat sekedar buat petik mangga dll. Banyak hikmah yg bisa diambil. Bisa liat perjuangan dan kekompakan orang tua jadinya bisa lebih peka sama kondisi dan keadaan orang tua (jadinya lebih sering curhat sama aku daripada sama adek). Kadang aku merasa, aku dewasa lebih cepat dibanding adekku. Diumur segini aku sudah bisa gini, sedangkan adekku baru bisa gini di umur segitu. Karena melihat dan ikut bantu Ibuk ngasuh adek, secara nggak langsung bikin aku jadi seorang yang tanggung jawab, penyayang, dan sabar. Dan masih banyak hal lain lagi. Kalo dbilang iri, aku juga pernah ngerasain, sampe bilang 'kok Adik enak banget sih bisa gini gini gini, dulu Kakak enggak'. Terus Ibuk langsung bilang, 'emang Kakak mau kalo sekarang keadaannya kaya dulu lagi?' Saat itu, aku langsung
deg. Sadar kalo emang kita gabisa bandingin dulu sama sekarang. Hehe:). Jadi buatku, dibanding memikul beban berat, lebih banyak pelajaran hidup yang bisa bermanfaat untuk kita kedepannya. Jangan banding-bandingkan dengan apa yang Kakak dapat dan apa yang Adik dapat, karena semua punya porsinya masing masing, untuk menjadi pribadi yang lebih baik ♥️". Terimakasih ya, sungguh cerita yang benar-benar membuka insight baru. Membuatku merasa nggak boleh ngeluh-ngeluh lagi, harus bersyukur, dan harus terus berjuang:) 

Terimakasih telah membaca salah satu tulisan Random Berfaedah. Ikuti tulisan-tulisanku selanjutnya yah! :D

Komentar